Modernisasi Pondok Pesantren Gontor

Pembaharuan di Pondok Gontor mencakup setidaknya tiga aspek modernisasi: aspek kelembagaan, manajemen, dan organisasi pesantren, kurikulum, metode dan sistem pendidikan.

Tujuan Pendidikan Islam

Pendidikan Islam lebih menekankan pada keseimbangan dan keserasian perkembangan hidup manusia. Pendidikan Islam adalah pendidikan keberagaman yang berlandaskan keimanan yang berdiri diatas filsafat pendidikan yang benar.

Studi Prinsip- Prinsip Dasar Metode Pengajaran Bahasa Arab

Ada lima prinsip dasar dalam pengajaran bahasa Arab asing, yaitu prinsip prioritas dalam proses penyajian, prinsip koreksitas dan umpan balik, prinsip bertahap, prinsip penghayatan, serta korelasi dan isi

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Runtuhnya Sumber Daya Manusia.

Jumat, 30 Maret 2012

Studi Prinsip Dasar Metode Pengajaran Bahasa Arab


oleh: Muhammad Nasrullah (PBA 5-2012)

A. pendahuluan
Belajar Bahasa Arab (asing) berbeda dengan belajar bahasa ibu, oleh karena itu prinsip dasar pengajarannya harus berbeda, baik menyangkut metode (model pengajaran), materi maupun proses pelaksanaan pengajarannya. Bidang keterampilan pada penguasaan Bahasa Arab meliputi kemampuan menyimak (listening competence/mahaarah al – Istima’), kemampuan berbicara (speaking competence/mahaarah al-takallum), kemampuan membaca (reading competence/mahaarah al-qira’ah), dan kemampuan menulis (writing competence/mahaarah al – Kitaabah).
Setiap anak manusia pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk menguasai setiap bahasa, walaupun dalam kadar dan dorongan yang berbeda. Adapun diantara perbedaan-perbedaan tersebut adalah tujuan-tujuan pengajaran yang ingin dicapai, kemampuan dasar yang dimiliki, motivasi yang ada di dalam diri dan minat serta ketekunannya.

B.Prinsip-prinsip pengajaran Bahasa Arab (asing)
Ada lima prinsip dasar dalam pengajaran bahasa Arab asing, yaitu prinsip prioritas dalam proses penyajian, prinsip koreksitas dan umpan balik, prinsip bertahap, prinsip penghayatan, serta korelasi dan isi;

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM


oleh: Addinsyah Ramadzan (PAI 5-2012)

Secara alamiah, manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi setahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat.

Pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian belrlangsung dia atas hukum alam yang ditetapkan oleh Allah SWT sebagai “sunnatullah”.
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniah dan jasmaniah, juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan/pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan/pertumbuhannya.
Tidak ada satupun makhluk ciptaan Allah diatas bumi ini yang dapat mencapai kesempurnaan/kematangan hidup tanpa berlangsung melalui suatu proses.

Madrasah Bashrah dan Kuffah, Sejarah dan kontribusinya dalam Ilmu Nahwu



     Berbicara tentang linguistik Arab, tak bisa dipisahkan dari “ilmu nahwu” (yang sekarang masuk ke kajian sintaksis). Karena dalam ilmu tata bahasa Arab, ilmu inilah yang pertama kali mencapai kematangan dari segi epistemologi. Menurut Syauqi Dhaif,  dalam sejarah ilmu nahwu, terdapat beberapa madzhab (madrasah) nahwu, yaitu madzhab Bashrah, Kufah, Baghdad, Andalusia dan Mesir. Namun di sini, hanya akan disajikan dua madzhab saja, yaitu madzhab Bashrah, dan Kufah,  mengingat pengaruh dan kontribusi kedua madzhab tersebut dalam bidang nahwu begitu besar.

A. Madzhab Bashrah
 Madzhab Basrah atau madrasah Bashrah adalah madzhab yang dirintis oleh ‘Anbasah, salah seorang yang disebut-sebut oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sebagai murid dan sahabat Abu al-Aswad yang paling cerdas.  Kemudian setelah itu dilanjutkan oleh Maimun al-Aqran. Namun Abu ‘Ubaidah mengatakan bahwa Maimun adalah pelanjut setelah Abu al-Aswad. Kemudian setelahnya, barulah ‘Anbasah al-Fil, yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Ishaq al-Khadhramiy.

Selanjutnya adalah Nashr bin ‘Ashim al-Laitsiy dan Yahya bin Ya’mur. Nashr bin ‘Ashim al-Litsiy adalah salah seorang ahli qiraat dan balaghah. Di antara muridnya adalah Abu ‘Amr. Al-Zuhriy mengomentari Nashr:”Ia adalah orang yang sungguh sangat mahir dalam bahsa Arab.” Bahkan ada yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang pertama meletakan bahasa Arab. Sedang Yahya bin Ya’mur adalah seorang yang sangat dikenal ilmu dan kefasihan bahsanya. Ia sangat dikenal dengan keilmuannya yang bersih dan sikap amanahnya. Ia telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Ibnu Abbas dan yang lainnya.

 Perlu diketahui bahwa kedua ulama nahwu ini, telah melakukan lompatan yang besar dalam hal penulisan bahasa Arab, setelah Abu al-Aswad al-Dualiy. Mereka berdua membuat kreasi titik huruf-huruf baik satu atau dobel (dua), untuk membedakan huruf-huruf yang mirip, seperti ba, ya, dan nun. Mereka melakukan hal tersebut atas perintah al-Hajjaj bin Khathib, pada mushhaf utsman.

 Yahya bin Ya’mur memiliki kelebihan dalam hal karangan. Diriwayatkan ketika Abu al-Aswad, Atha putera Abu al-Aswad dan dia melakukan perluasan kajian nahwu, seperti membuat bab-babnya dan menggali kias-kiasnya. Maka ketika bab-bab dan juz-juz telah cukup mumpuni, sebagian periwayat menisbatkan pada mereka berdua, bahwa yang pertama meletakan nahwu adalah mereka berdua.

 Namun Nashr sampai sekarang masih terkenal sebagai orang yang membedakan huruf-huruf yang saling mirip dengan titik yang sudah dikenal. Dialah yang merubah susunan abjad Arab sehingga seperti sekarang ini. Lalu ia menggantikan titik-titik yang digunakan Abu al-Aswad digantikan dengan titik yang kita kenal sekarang yang dulunya hanya dengan alif (untuk bunyi fathah), wawu (untuk bunyi dhamah) dan ya (untuk bunyi kasrah). Abu al-Aswad memberi titik pada kata (kalimat), hanya untuk membedakan tiap akhir kata (baca: mengi’rabi). Sedang Nashr memberi titik pada kata, tujuanya adalah untuk membedakan tiap huruf bagi orang ‘Ajam (non-Arab), yang mana ketika itu masih sering terbalik antara satu huruf dengan yang lainnya yang terdapat kemiripan.

 Dalam fase kedua, di antara ulama nahwu Bashrah terdapat nama Abu Amr bin al-‘Ala dan Abudullah bin Ishaq al-Hadhramiy. Abu Amr adalah ulam yang terkenal dan gemilang dalam kajian Al-Qur’an, bahasa dan nahwu. Ia adalah salah seorang ahli qiraat sab’ah. Abu Ubaidah mengomentari dirinya:”Ia merupakan orang yang paling pintar dalam qiraat, bahasa Arab, fase-fase (sejarah) orang-orang Arab, dan sya’ir. Ia memiliki buku banyak, hingga menumpuk sampai langit-langit rumahnya. Ia menjadi rujukan banyak orang pada masanya. Di antara muridnya adalah Isa bin Umar, Yunus bin Hubaib, dan Abu al-Khaththab al-Akhfasy.”
 Sedang Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhramiy adalah ulama nahwu yang sezaman dengan Abu Amr. Ia salah seorang ulama yang pernah menyalahkan Farazdaq dalam menggunakan bahasa dalam syi’ir gubahannya. Abu Amr lebih diunggulkan dalam bidang bahasa, sedang Abu Ishaq lebih diunggulkan  dalam bidang nahwu. Abu ishaq merupakan orang yang paling pintar dan cerdas di Bashrah. Ia adalah orang yang mengklasifikasikan pembahasan nahwu dan membuat kias. Dikatakan bahwa ia adalah ulama yang pertama membuat menta’lil nahwu.

 Ulama selanjutnya adalah Isa bin Umar al-Tsaqafiy, sahabat Khalid bin Walid. Ia berguru pada Abu Amr bin al-Ala dan Abdullah bin Ishaq al-Hadhramiy. Ia dianggap sebagai salah seorang yang ahli qiraat Bashrah. Ia juga menjadi imam dalam bidang bahasa Arab dan nahwu. Barangkali ia adalah orang yang pertama menyusun kitab yang lengkap dalam kedua bidang tersebut. Kedua kitabnya cukup terkenal, walau tidak ada berita yang sampai pada kita mengenai kedua kitab tersebut. Hanya saja Khalil bin Ahmad sebagai muridnya, pernah membaca dan merawatnya.

 Isa bin Umar merupakan guru dari ulama-ulama Bashrah yang terkenal seperti Khalil, Sibawaih dan Abu Zaid al-Anshari. Juga guru dari Abu Ja’far al-Ruasiy yang kelak menjadi perintis madzhab Kufah, yang mana murid-muridnya adalah al-Kisaiy dan al-Farra.

 Adapun Khalil bin Ahmad merupakan puncaknya dalam penggalian masalah-masalah nahwu dan mensahkan penggunaan kias dalam nahwu. Ia merupakan orang yang meletakan kaidah-kaidah arudh (wazan syi’ir Arab klasik). Ia mengarang sebuah kitab yang sangat terkenal kitab al-‘Ain yang membuat batasan-batasan bahasa Arab. Ia merupakan guru Sibawaih. Dalam kitab¬-nya yang terkenal, Sibawaih banyak meriwayatkan darinya. Setiap Sibawaih berkata سألته  atau قال  tanpa disebutkan subjeknya, maka maksudnya adalah Khalil.

 Abu Zaid adalah seorang yang sangat jujur dan terpercaya dalam periwayatan. Kendati ia dalam bidang nahwu lebih unggul daripada al-Ashma’iy dan Abu Ubaidah, namun ia pun banyak mengarang dalam bidang bahasa, nawadir (anekdot), dan al-gharib.

 Para ulama Bashrah memiliki tradisi kunjungan ke qabilah-qabilah Arab yang tinggal di pedalam-pedalaman. Mereka mengambil bahasa Arab langsung dari penutur aslinya. Mereka beranggapan bahwa bahasa Arab yang asli hanyalah ada di sana. Karena qabilah di pedalaman belum banyak berinteraksi/berhubungan dengan dunia luar, jadi bahasanya pun masih asli terjaga. Maka jika ingin mengetahui bahasa Arab yang baik dan benar, maka datanglah ke qabilah-qabilah di pedalaman. Begitulah barang kali anggapan ulama Bashrah mengenai keaslian bahasa Arab yang akan dijadikan rujukan.

 Di antara qabilah yang paling sering mereka kunjungi adalah Tamim dan Qais. Karena kedua qabilah itu belum bercampur dengan masyarakat di luar Arab (‘ajam). Dengan begitu bahasanya akan senantiasa terjaga. Di Bashrah terdapat pasar yang cukup terkenal, yaitu al-Mirbad. Qabilah-qabilah pedalaman Arab pun pada berdatangan mengunjunginya dengan tujuan berniaga. Pasar ini tak jauh beda seperti Ukazh dulu, yaitu selain tempat berdagang, juga tempat perlombaan sya’ir dan saling membanggakan antar qabilah. Penduduk qabilah-qabilah badwi selalu mendatanginya dengan tujuan untuk mengais rezeki dari sana. Kondisi ini sangat memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap kefashihan bahasa penduduk Bashrah dan keterjagaan bahasa mereka. Dengan begitu, interaksi kaum pedalaman Arab (Arab badwi) dengan ulama Bashrah tidak hanya terjadi di kampung-kampung Badwi, tetapi juga di pasar al-Mirbad.
 Berbeda dengan ulama Kufah, para ulama Basrah ahli di bidang manthiq (logika). Sehingga mereka dapat membuat teori-teori/kaidah-kaidah untuk mempermudah dalam mempelajari nahwu.

B. Madzhab Kufah
 Madzhab Kufah adalah madzhab nahwu yang dirintis oleh Abu Ja’far al-Ruasiy. Ia menuntut ilmu di Bashrah kepada ulama-ulama Bashrah. Ia belajar kepada Abu Amr bin al-Ala dan Isa bin Umar al-Tsaqafiy. Namun ia selama di sana tidak pernah mendekati/berkenalan dengan murid-murid keduan imam tersebut pun menegurnya. Ia tinggal di Bashrah dalam keadaan tidak terkenal. Ia merupakan ulama Kufah yang pertama menyusun kitab tentang (ketata)bahasa Arab-an,yaitu kitab al-Faishal. Kitab ini pernah diperlihatkan kepada para ahli nahwu Bashrah. Namun mereka tidak pernah meliriknya. Dan ia pun tidak pernah memperlihatkannya lagi, setelah mendengar komentar (miring) dari mereka. Ia menduga Khalil meminta kitab tersebut, lalu ia memperlihatkan kitab itu padanya. Setelah itu Khalil berkomentar: “Semua isi kitab Sibawaih, itulah yang diungkapkan oleh orang Kufah”. Maksud Khalil adalah al-Ruasiy ini. Sekelompok ulama Bashrah menganggap bahwa orang Kufah yang disebut-sebut al-Akhfash di akhir pembahasannya, yang kemudian menjadi rujukannya ialah al-Ruasiy. Dilihat dari karya-karyanya, seperti Kitab al-Tashghir, al-Afrad wa al-Jam’, al-Waqf wa al-Ibtida, dan Ma’aniy al-Qur’an, ia dinggap sebagai salah seorang ulama Kufah yang ahli qiraat.
 Sekembalinya ke  Kufah,  ia  menemui  pamannya Mu’adz bin Muslim al-Hira, seorang ulama yang dijadikan rujukan dalam bidang bahasa Arab. Ia kemudian memfokuskan pada kajian sharaf serta permasalahan-permasalahannya secara khusus. Selanjutnya berdatanganlah orang-orang Kufah yang belajar padanya/mencatat pemikirannya untuk dikoreksi olehnya. Sehingga konon katanya, mereka lebih unggul dari ulama Bashrah dalam bidang itu. Dari sana, sebagian ulama menganggap al-Ruasiy sebagai peletak pertama ilmu sharaf. Karena dari tangannyalah, muncul dua muridnya yang terkenal yaitu al-Kisaiy dan al-Farra.
 Namun Syauqiy Dhaif berpendapat bahwa perintis madzhab Kufah adalah al-Kisaiy dan muridnya al-Farra. Karena mereka berdualah yang telah merumuskan podasi ilmu nahwu. Sehingga ilmu nahwu yang berkembang di Kufah berbeda dengan yang Bashrah. Lebih lanjut, tegas Syauqiy, namanya tidak pernah disebut-sebut dalam kitab-kitab ulama nahwu setelahnya yang pernah sejaman dengannya. Dan Syauqiy mengutip Abu Hatim yang pernah menyatakan:”Di Kufah ada seorang ulama nahwu yang bernama Abu Ja’far al-Ruasiy. Ilmunya kurang, dan ia bukan apa-apa.”
 Al-Kisaiy adalah seorang ulama non-Arab (a’jamiy). Ia merupakan salah seorang ahli qiraat sab’ah dan imam ahli Kufah dalam bidang bahasa Arab. Ia belajar kepada Yunus, salah seorang ulama Bashra dan Khalil. Ia juga berkunjung ke pedalaman-pedalaman Najd, Hijaz dan Tihamah. Ia mencatat bahasa Arab dari orang badwi di sana. Ia menghabiskan 15 botol kecil tinta untuk mencatat apa yang ia tangkap, selain apa yang ia dengar. Sekembalinya ia ke Bashrah, ia mendapatkan Khalil telah meninggal. Di sana ia hanya mendapatkan Yunus. Maka terjadilah diskusi antara keduanya. Yunus akhirnya mengakui keilmuan al-Kisaiy dan menempatkannya sejajar dengan dirinya. Ia menggantikan posisi dirinya.
 Selanjutnya al-Kisaiy pindah ke Bagdad. Di sana ia tinggal di istana al-Rasyid sambil mengajar kedua putera mahkota, yaitu al-Amin dan al-Ma’mun. ia pula di sana mendapat kedudukan terhormat dan harta benda. Ia dipekerjakan  oleh al-Rasyid untuk membantu mengajari kedua putera mahkota. Pada waktu al-Rasyid pergi ke Ray, beliau ditemani oleh al-Kisaiy dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy. Maka ketika keduanya meninggal dunia, al-Rasyid berkata:”Aku menguburkan fiqih dan nahwu dalam satu hari.”
 Adapun al-Farra, ia telah belajar di Bashrah kepada Yunus bin Hubaib, lalu kepada al-Ruasiy. Dan setelah itu ia terus belajar kepada al-Kisaiy di Bagdad. Orang yang menyuruhnya berangkat ke Bagdad ialah gurunya sendiri al-Ruasiy.
 Sekarang, marilah kita dengarkan perkataan al-Farra ketika pertama kalinya menginjakan kaki di Bagdad.
 Al-Ruasiy pernah berkata kepadaku:”Al-Kisaiy datang ke Bagdad dalam usia lebih muda darimu.”  Kemudian aku datang ke sana dan menemui al-Kisaiy. Aku bertanya kepadanya tentang masalah-masalah yang dibahas al-Kisaiy. Ia menjawab dengan jawaban yang berbeda sama sekali dengan apa yang aku perleh dari al-Ruasiy. Aku melirik para ulama Kufah yang ketika itu ada bersamaku. Ia balik bertanya:”Mengapa engkau mengingkari apa yang aku katakan? Bukankah engkau ini ulama Kufah? Aku jawab:”Ya.” Lalu ia melanjutkan perkataannya:”Al-Ruasiy berkata begini…begitu…Semuanya tidak benar. Tapi aku mendengar orang-orang berkata begini-begini. Sehingga ia sampailah pada bahasan-bahasanku. Aku sangat tertarik uraiannya dan aku pun kemudian belajar padanya.
 Ada hal yang unik pada Farra ini, para ulama Bashrah dan Kufah ternyata sangat menjunjung tinggi bacaannya yang ia pelajari dari Hubaib al-Bashriy, yang menjadi guru Sibawaih, dengan sanjungan yang luar biasa. Ulama-ulama Kufah mengira ia banyak mengambil ilmu dari Hubaib, sedang ulama Bashrah menampik hal demikian. Di atas itu semua, ternyata al-Farra adalah orang yang sangat fanatik kepada Sibawaih dan kitabnya. Ia adalah salah seorang ulama yang telah mengarang kita ma’ani al-Qur’an yang belum pernah dikarang oleh ulama lain.
 Kufah masuk ke daerah Irak dan lebih memungkinkan terjadinya percampuran dengan kaum non-Arab (‘Ajam). Di mana bahasa kaum Badwinya tidak semurni badwi Bashrah. Kebanyakan dari mereka dalah orang-orang Yaman. Jarang sekali datang dari kabilah lain. Sedangkan Yaman, bahasa mereka tidak bisa dijadikan hujjah karena telah tercampuri bahasa Persia dan Ahbasy. Kemudian antara Kufah dan jazirah Arab, terbentang gurun pasir yang sangat luas kondisi itu tidak memungkinkan para ulamanya mereka melakukan rihlah ilmiah ke sana, sebagaimana ulama-ulama Bashrah. Sedang al-Kisaiy tidak pernah melakukan perjalanan itu, kecuali atas hasil berguru pada Khalil. Oleh Khalil ia diberi petunjuk untuk melakukan perjalanan.
 Abu Amr bin Abi al-Ala, seorang ulama Bashrah periode pertama telah melakukan perjalanan selama empat puluh tahun. Sedangkan al-Kisaiy hanya tinggal empat puluh hari di perkampungan orang badwi tersebut. Dengan demikian, para ulama Basrah dakam periwayatan bahasa (sima) dari orang Arab badwi, lebih kuat sanad-sanadnya walau tidak banyak. Sedang ulama Kufah sangatlah lemah, kendati lebih banyak meriwayatkan. Begitulah Khatib al-bagdadiy  memberikan gambaran perbedaan antara kedua madzhab tersebut.
 Para ulama Kufah sangat berbeda dengan ulama basrah. Mereka kurang begitu ahli dalam mengunakan manthiq. Sehingga mereka banyak membuat kesalahan dalam membuat kaidah-kaidah nahwu. Mereka sering menjadikan kalimat-kalimat yang syadz dan jarang sebagai kaidah. Hal ini akan menyulitkan pada pembelajaran nahwu, karena terlalu banyak kaidah yang harus dipakai.
 Ada sebagian peneliti menyimpulkan bahwa perbeadaan antara madzhab Basrah dan Kufah adalah, jika basrah lebih cenderung ke kias (manthiq) sedang madzhab Kufah lebih cenderung ke sima (periwayatan). Memang hal itu bisa dibenarkan, namun itu terlalu menyederhanakan masalah. Dan yang penulis pegang adalah seperti yang telah diuraikan di atas.

Modernisasi Pondok Pesantren Gontor



oleh: Abdul Halim Wicaksono (PAI-5 2012)
Salah satu gerakan modernisasi dunia Islam khususnya di Indonesia adalah Pondok Gontor. Pondok Modern Darussalam Gontor atau biasa disingkat PMDG, didirikan pada tahun 1926 di Desa Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Gagasan yang melatarbelakangi pembentukan Pondok Modern adalah kesadaran bahwa perlu dilakukan modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam; tidak mengadopsi sistem dan kelembagaan pendidikan modern ala Belanda, melainkan dengan modernisasi sistem dan kelembagaan Islam indigenous yaitu ‘pesantren’.

Pendirian Pondok Modern Gontor terinspirasi dari gagasan modern Sumatra Thwalib dan ‘Normal Islam School’ di Sumatra Barat. Hal itu tak lain karena Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, pernah menyelesaikan studinya disana. Namun, ada perubahan besar yang terjadi di Gontor yaitu penerapan sistem pengajaran modern ‘al-Tariqah al-Haditsah’.


Topik Bahasan Katulistiwa

Katulistiwa sebagai Karya Tulis TIngkat Mahasiswa memiliki Beberapa Topik Kajian. Topik-topik Kajian ini disesuaikan dengan jurusan dan Fakultas yang ada di Kampus Pusat ISID Institut Studi Islam Darussalam, Demangan Siman Ponorogo.

Topik-topik utamanya adalah: Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Arab, Aqidah Filsafat, Perbandingan Agama, Perbandingan Madzhab dan Hukum, Mu'amalat dan Ekonomi Islam.

Katulistiwa Wall Magazine

Katulistiwa Wall Magazine adalah Majalah Dinding Katulistiwa yang artinya Karya Tulis Tingkat Mahasiswa. Redaktur Katulistiwa adalah seluruh mahasiswa ISID (Institut Studi Islam Darussalam) Semester lima dan enam, yang langsung dikoordinir oleh Departmen Publikasi.
Inilah secuil tentang profil Majalah Dinding Katulistiwa - Karya Tulis Tingkat Mahasiswa.