Modernisasi Pondok Pesantren Gontor

Pembaharuan di Pondok Gontor mencakup setidaknya tiga aspek modernisasi: aspek kelembagaan, manajemen, dan organisasi pesantren, kurikulum, metode dan sistem pendidikan.

Tujuan Pendidikan Islam

Pendidikan Islam lebih menekankan pada keseimbangan dan keserasian perkembangan hidup manusia. Pendidikan Islam adalah pendidikan keberagaman yang berlandaskan keimanan yang berdiri diatas filsafat pendidikan yang benar.

Studi Prinsip- Prinsip Dasar Metode Pengajaran Bahasa Arab

Ada lima prinsip dasar dalam pengajaran bahasa Arab asing, yaitu prinsip prioritas dalam proses penyajian, prinsip koreksitas dan umpan balik, prinsip bertahap, prinsip penghayatan, serta korelasi dan isi

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Runtuhnya Sumber Daya Manusia.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Bahasa Alqur'an

Oleh; Arie Maulana /PBA 5
Barangkali karena lazimnya, jarang sekali kita memperhatikan bahasa yang kita gunakan. Bahasa sudah kita anggap sebagai hal yang biasa, seperti makan, minum, dan bernafas. Tetapi sebenarnya, bahasa memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan kita. Bahkan hal paling penting yang membedakan antara manusia dengan binatang adalah kemampuan berbahasa. Seperti dikatakan oleh Quintilian, "Tuhan, Sang Pencipta Alam Yang Maha Kuasa serta  Arsitek Dunia, telah memberikan kepada manusia suatu sifat yang sangat tepat untuk membedakannya daripada hewan, yakni daya bicara." (Mario Pei, 1970)
Mayoritas umat Islam di seluruh dunia sepakat, bahwa bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arab dan Nabi Muhammad juga bangsa (orang) Arab, maka banyak orang yang menyamaratakan (termasuk para orientalis), bahwa semua yang berbau Arab (Timur Tengah) adalah Islam. Namun bila kita cermati lebih dalam lagi, wajar bila timbul pertanyaan, kalau memang benar bahwa bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arab dan Nabi Muhammaad adalah bangsa (orang) Arab, maka Arab manakah yang dimaksudkan? Apakah Arab Badui, Arab Palestina, Arab Yaman,  Arab Mesir, Arab Himyar, Arab Quraiys atau Arab Hadramaut?
Ditinjau dari sejarahnya, sekurang-kurangnya ada dua jenis klan besar Arab yang mendiami daerah Hijaz (jazirah Arab). Yang pertama adalah Arab asli (True Arabs) atau Arab al-'Ariba dan yang kedua adalah Arab pendatang (Arabized Arabs) atau Arab al-Musta'riba. Arab asli adalah keraturunan dari Qathan, sedangkan Arab pendatang merupakan keturunan dari Ismail, yang datang dari Babylonia (Mesopotamia).
Pada masa menjelang lahirnya Muhammad, Makkah sebagai pusat kota yang terpenting pada saat itu. Praktis dikuasai oleh orang Arab pendatang yang populer dengan sebutan suku bangsa Quraisy. Didukung oleh persekutuan antar kabilah yang kuat dalam perjanjian hilfufudhul, maka bahasa Arab Quraisy secara de facto telah menjadi lingua france (bahasa utama) di seluruh jazirah Arab pada masa itu.
Berdasarkan data sejarah dan bukti dari berbagai ayat al-Qur'an dapat disimpulkan bahwa, bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arabs Quraisy. Singkatnya disebut dengan bahasa Araby.
Kemudian, mengapa kita memakai istilah Araby? Apakah karena kata Araby berbeda dengan kata Arab? Istilah Araby berasal dari kata Arab yang ditambah dengan huruf "ya nisbah", yaitu huruf  "ya" di akhir kata yang berfungsi sebagai penghubung dari kata itu. Dalam konteks bahasa, "ya nisbah" berfungsi untuk merumpunkan suatu bahasa dengan kelompoknya. Seperti halnya bahasa Indonesia adalah serumpun dengan bahasa Malaysia, yakni termasuk dalam rumpun bahasa Melayu. Jadi, yang kita maksud bahasa al-Qur'an sebagai bahasa Araby, adalah karena bahasa Arab Quraiys yang dipakai al-Qur'an tersebut serumpun dengan bahasa Arab seumumnya.
Yang penting digaris bawahi di sini adalah, dari dua bahasa yang serumpun seringkali tidak sama persis antara yang satu dengan yang lainnya. Ada banyak hal yang sama, tetapi ada beberapa hal lain yang berbeda.
Perbedaan antara bahasa Arab dengan bahasa al-Qur'an, adalah:
Bahasa Arab adalah bahasa kontemporer yang masih mengalami proses perubahan dan perkembangan (bisa bertambah dan berkurang). Sedang bahasa al-Qur'an adalah bahasa klasik yang sudah baku.
Secara struktur, bahasa  Arab tersusun dari kalimat, kata dan huruf tanpa ada ikatan yang kuat. Sedang bahasa al-Qur'an terikat dalam kitab, surat, ayat, kalimat, kata, dan huruf.

BENTUK BAHASA AL-QUR'AN

BAHASA ucap atau bahasa lidah merupakan landasan bagi semua bahasa. Bahasa wahyu yang didokumentasikan dalam al-Qur'an disebut sebagai qaulan atau lisaanan yang artinya ucapan atau perkataan lisan. Hal ini perlu kita tandaskan karena perbedaan bentuk bahasa akan sangat berpengaruh pada makna yang dikandungnya.
Sebagai perbandingan antara bentuk bahasa ucap dan bahasa tulis antara lain:
Bahasa tulis sangat terikat oleh tata bahasa, sedangkan bahasa ucap lebih longgar dalam.
Dalam bahasa ucap, intonasi atau tinggi rendah tekanan (nada) suara sangat mempengaruhi makna yang dikandungnya, sementara dalam bahasa tulis tidak ada persoalan dalam hal intonasi.
Pihak-pihak yang berbicara biasanya saling bertemu secara langsung dalam ruang dan waktu yang sama secara dialogis dan interaktif (dalam bahasa ucap), sedangkan dalam bahasa tulis tidak demikian.
 Yang paling tahu dari suatu ucapan adalah si pengucap itu sendiri. Bila objek (lawan bicara) tidak mengerti, bisa langsung ditanyakan kepada yang bersangkutan saat itu juga. Sedang dalam bahasa tulis, biasanya banyak sekali pemahaman, tafsiran, dan interpretasi yang berbeda-beda. Bahkan kadang-kadang bertolak-belakang dengan maksud si penulis, akan tetapi tidak bisa langsung dikonfirmasikan saat itu juga.
Dengan memahami bahwa bahasa al-Qur'an sebenarnya adalah bahasa ucap atau bahasa lisan yang ditulis (diabadikan) dalam mushaf, maka kita bisa lebih berhati-hati, terutama dalam upaya melagukan atau menyanyikan al-Qur'an. Jangan sampai sebuah kisah yang heroik di dalam al-Qur'an (misalnya Surat al-Kafirun) menjadi terdengar lucu, karena keliru melagukannya, yakni dengan nada meratap misalnya. Atau sebaliknya, yang seharusnya meratap menadahkan harapan dalam suasana syahdu, tetapi malah dilagukan dengan semangat berapi-api.
Di samping itu, walaupun mempelajari tata bahasa itu penting, tetapi al-Qur'an sebagai bentuk bahasa ucap atau lisan mempunyai teori gramatika (tata bahasa) tersendiri. Tidak cukup hanya dengan sekadar belajar Nahwu Sharaf (tata bahasa Arab biasa). Jadi, untuk belajar bahasa al-Qur'an memang harus mempelajari tata bahasa al-Qur'an itu sendiri.
Dalam al-Qur'an Surat al-Haaqqaah ayat 42-43 diterangkan, bahasa al-Qur'an adalah bahasa percakapan dari Tuhan Pencipta alam semesta kepada utusan-Nya, yang dari segi bentuk maupun kandungannya mempunyai nilai yang sangat mulia (qaulu arasuulin kariimin). Al-Qur'an bukan termasuk bahasa semodel bahasa para sastrawan atau penyair (syaa'irin) yang terlalu berorientasi pada keindahan lahiriahnya saja. Bahasa al-Qur'an juga bukan bahasa seperti bahasa para manterawan (kaahinin) atau peramal atau dukun, karena bentuk bahasa model ini seringkali sulit dinalar dan tidak komunikatif. Biasanya, bahasa jenis ini memerlukan juru tafsir khusus.
Dari semua bentuk bahasa tersebut, baik yang syaa'irin maupun kaahinin, yang tahu hanya para tokoh dan juru tafsirnya. Semakin sulit dipahami oleh orang awam akan terasa semakin hebat, dan tentu saja semakian mahal harganya.

Wallahu A’lam

Kampus Siman, 18 Oktober 2013

Sabtu, 14 September 2013

Ekonomi Islam Sebagai Solusi Perekonomian Kontemporer

Kebahagiaan dan kesejahteraan merupakan tujuan dari setiap kehidupan manusia.berbagai cara dilakukan untuk mencapai suatu hal tersebut.[1]salah satu paradigma  adalah tolak ukur ekonomi,dan demi tercapainya dalam bidang ini mengacu pada berbagai pemikiran.sistem ekonomi kapitalis setiap pemikiran yang menjadi acuan ini berangkat dari worldview dan kemudian menjelma menjadi sumber kebenaran peradaban yang lahir dari paham sekuler.Sedangkan dalam Islam,pemikiran ekonomi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu,hadith,akal, pengalaman dan intuisi.Ini berarti bahwa ilmu ekonomi dalam islam merupakan produk dari pemahama(tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang  universal ,permanen,dinamis.
Sehubungan dengan masalah ini,berikut akan dibahas secara singkat perbedaan maupun perbandingan Sistem ekonomi kapitalis,dan Ekonomi Islam.Ekonomi Kapitalis tidak diragukan lagi paling dominan di dunia saat ini.sedangkan Ekonomi Islam baik sebagai ilmu maupun sistem,kini telah memasuki kategori sebagai sebuah paradigma baru.hal ini dibuktikan pula dengan semakin maraknya diskusi tentang ekonomi Islam di Universitas,baik di barat maupun di negara-negara islam sendiri.dan Ekonomi Islam sudah menampakkan kehadirannya dengan munculnya berbagai lembaga keuangan Islam.
Sistem Ekonomi Kapitalis
Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berasaskan kepentingan pribadi, dimana nilai produksi dan konsumsi semata-mata untuk menggaet profit. Sistem kapitalisme sama sekali tidak mengindahkan kesejahteraan sosial, kepentingan bersama, kepemilikan bersama ataupun yang semacamnya. Asas kapitalisme adalah kepuasan sepihak, alias setiap keuntungan adalah milik pribadi.
Karakteristik Sistem Ekonomi Kapitalis
·      Pertama:Kebebasan memiliki harta secara perorangan.
·      Kedua: persaingan bebas: Persaingan bisa terjadi antar produsen dalam menghasilkan produk,persaingan bisa terjadi antar penyalur produk.
·      Ketiga: kebebasan penuh: Kapitalisme identik dengan kebebasan (liberalisme/laissez faire),yang dianggap sebagai iklim yang paling sesuai dengan sendi kapitalisme.
·      Keempat:mementingkian diri sendiri
·      Kelima :harga sebagai penentu.
·      Keenam:campur tangan pemerintah minimum
Dampak positif dan Negatif Sistem Ekonomi kapitalis
Pertama:Mendorong aktivitas Ekonomi secara signifikan
Kedua:Persaingan bebas akan mewujudkan produksi dan harga ke tingkat wajar dan rasional.
Ketiga: Mendorong motivasi pelaku ekonomi mencapai prestasi terbaik.
Terlepas dari semua hal itu,tidak salah jika dianalisa bahwa dibalik kesuksesan itu,ada kerancuan bahkan kontradiktif yang pada hakikatnya menafikan kesuksesan tadi.[2]hal ini tampak pada:
·      Pertama :penumpukan harta,distribusi kekayaan tidak merata
·      Kedua:Individualisme
·      Ketiga:Distorsi pada nilai moral.bahkan seiring dengan perkembangan ekonomi berupa fasilitas dan segala kemudahan teknologi bukan semakin membuat peradaban yang terbangun menjadi lebih baik,tapi semakin menunjukkan paradoks kemajuan ekonomi.
·      Keempat:pertentangan antar kelas misalnya majikan dan buruh
Sistem Ekonomi Islam
Ekonomi Islam bukan wacana baru dalam dunia sosial dan ilmiah. Ekonomi Islam merupakan realitas yang terus menghadirkan kesempurnaan dirinya ditengah-tengah beragamnya sistem sosial dan ekonomi konvensional yang berbasis pada paham materialisme sekuler. Ekonomi Islam  juga merupakan realitas ilmiah yang senantiasa menampakkan jati dirinya di antara konstalasi ilmu-ilmu sosial yang berbasis sekulerisme bahkan atheisme.
Definisi Ekonomi Islam mengalami perbedaan definisi antara ahli satu dengan yang lainnya.
Rumusan M.Nejatullah Siddiqi,bahwa:
Ekonomi Islam adalah:”Pemikir Muslim yang merespon terhadap tantangan ekonomi ekonomi pada masanya.dalam hal ini mereka dibimbing dengan Al-qur’an dan As-sunnah beserta akal dan pengalaman)
Rumusan Syed Nawab heider Naqvi menyebutkan bahwa:
“Ekonomi Islam merupakan representasi perilaku muslim dalam suatu masyarakat muslim tertentu.”
Rumusan M.A.Mannan,bahwa:
“Ekonomi Islam merupakan suatu studi sosial yang mempelajari masalah ekonomi manusia berdasarkan nilai-nilai Islam.”[3]
Ekonomi Islam dalam arti sistem ekonomi merupakan sebuah sistem yang telah terbukti dapat mengantarkan umat manusia kepada falah (kesejahteraan yang sebenarnya). Memang benar bahwa semua sistem ekonomi, baik yang telah terkubur oleh sejarah maupun yang sedang menuai pujian bertujuan untuk mengantarkan kesejahteraan kepada pemeluknya.
Jika kesejahteraan itu dimanefestasikan pada peningkatan income perkapita yang tinggi maka kapitalis modern akan mendapat angka maksimal. Akan tetapi income perkapita yang tinggi bukan satu-satunya komponen pokok yang menyusun arti kesejahteraan. Al falah dalam pengertian Islam mengacu kepada konsep Islam tentang manusia itu sendiri. Dalam Islam esensi manusia ada pada ruhaniahnya. Karena itu seluruh kegiatan duniawi termasuk dalam aspek ekonomi diarahkan tidak saja untuk memenuhi tuntutan fisik jasadiah melainkan juga memenuhi kebutuhan ruhani dimana ruh merupakan esensi manusia.
Konsep ekonomi konvensional tentang  kesejahteraan yang begitu sempit dan gersang menyebabkan diabaikannya aspek ruhani umat manusia. Pola dan proses pembangunan ekonomi diarahkan semata-mata untuk peningkatan income perkapita, konsumsi fisik yang sarat dengan hedonisme dan memompa produk-produk kepasaran tanpa mempertimbangkan dampak negatif bagi kehidupan lain. Seringkali produksi barang dan jasa sebenarnya tidak perlu diproduk dan dipasarkan karena bertentangan fitrah manusia, namun karena alasan-alasan bisnis dan ekonomi, barang dan jasa tersebut tetap diproduksi dan dipasok dipasaran. Akibatnya sudah bisa diduga terjadilah misalokasi sumberdaya alam yang cenderung melanggengkan ketidak adilan, eksploitasi, penjajahan ekonomi dan budaya serta merusak moralitas bangsa dan negara. Inilah kecelakaan dan musibah besar sepanjang sejarah umat manusia, sebagaimana  Al-Qur’an yang menyatakan kepada mereka:
Maka bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa , dan apabila dikatakan kepada mereka : Rukuklah (tunduk pada perintah Allah) niscaya mereka tidak mau rukuk. Kecelekaanlah yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Maka kepada perkataan apakah sesudah Al-Qur’an ini diturunkan. (QS 77: 47-50)
Pengkristalan pemikiran ekonomi yang berdasarkan syariah tidak bermaksud menafikkan pemahaman dan analisa sistem ekonomi kontemporer, namun berusaha meletakkan pemahaman, koreksi dengan nilai dan etika ekonomi Islam. Dengan tegas ekonomi Islam  menolak sistem pranata bunga yang merupakan urat nadi sistem ekonomi konvensional, karena bertentangan dengan nilai-nilai syariah.  Ekonomi Islam akan senantiasa concern dalam mewujudkan stabilitas ekonomi yang dibangun atas beberapa asumsi yang merupakan hasil analisa ekonomi.
Ekonomi Islam yang dulu pernah memegang peranan penting dalam perekonomian dunia, datang karena tuntutan kesempurnaan Islam itu sendiri, bukan karena karena sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis yang mengandung banyak kelemahan dan ketidak adilan. Islam harus dipeluk secara kaffah dan komprehensif. Islam menuntut kaum muslimin untuk mengaktualisasikan keislamannya dalam segala aspek kehidupan. Dalam kehidupan ekonomi, umat Islam memiliki sistem ekonomi sendiri, dimana garis-garis besarnya telah digambarkan secara utuh dalam Al-Qur’an dan Assunah. Adalah tidak dimungkinkan seorang muslim shalat 5 waktu setiap hari , sementara ia mengkonsumsi arak, narkoba, berjudi dan hanyut dalam spekulasi murni. Begitu juga tidak mungkin seorang muslim untuk melakukan transaksi-transaksi keuangan yang mengandung Maysir, Ghoror , Riba dan batil. Dan segala yang membahayakan dirinya maupun orang lain. (Al-Baqoroh 85).
Ini semua rambu-rambu yang harus ditaati oleh setiap muslim, karena itu munculnya ekonomi Islam lebih merupakan perealisasian dari universalitas Islam itu sendiri. Hanya saja kesadaran menjalankan syariah Islam secara kaffah baru muncul  beberapa dekade tahun ini. Itu sebabnya perkembangan ekonomi Islam terutama dalam dunia pendidikan, perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya baru mulai menggelora beberapa tahun ini.
Asas Perekonomian Islam
            Dalam menjalankan kegiatan ekonomi, Islam memiliki beberapa ketentuan dasar pada  umatnya:
a.   Keadilan
Urusan manusia akan langgeng di dunia ini selama keadilan masih ditegakkan. Adil dalam darah, harta, nasab dan kehormatan. Oleh kare­na itu, negeri yang adil akan tegak sekalipun penduduknya kafir dan tidak mendapat bagian di akhirat, sebaliknya negeri muslim tidak akan tegak jika penuh dengan kezaliman.
b.   Kejujuran
Kejujuran adalah asas semua kebaikan, sedangkan kedustaan adalah asas dan penopang semua kejelekan.
c.    Kesabaran
Sabar dalam melaksanakan amalan yang baik dan meninggalkan semua yang dilarang, termasuk sabar terhadap semua gangguan dan cobaan.
d.   Keberanian
Yang dimaksud di sini bukanlah kekuatan badan, tetapi kuat dan tegarnya hati, termasuk berjihad dengan harta di jalan Allah. (al-Hisbah 106) Salah satu solusi penting yang harus diperhatikan pemerintahan dalam merecovery ekonomi Indonesia adalah penerapan ekonomi syari’ah. Ekonomi syari’ah memiliki komitmen yang kuat pada pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan pertumbuhan ekonomi, penghapusan riba, dan pelarangan spekulasi mata uang sehingga menciptakan stabilitas perekonomian.
Untuk ke depannya, pemerintah perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi Islam yang telah terbukti ampuh dan lebih resisten di masa krisis. Sistem ekonomi Islam yang diwakili lembaga perbankan syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya bisa bertahan karena ia menggunakan sistem bagi hasil sehingga tidak mengalami negative spread sebagaimana bank-bank konvensional. Bahkan perbankan syariah semakin berkembang di masa-masa yang sangat sulit tersebut.
Selama ini,  sistem ekonomi dan keuangan syari’ah kurang mendapat tempat yang memungkinkannya untuk berkembang. Ekonomi Islam belum menjadi perhatian pemerintah. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan untuk diterapkan, Ekonomi Islam bagaikan pohon tumbuhan yang bagus dan potensial, tapi dibiarkan saja, tidak dipupuk dan disiram. Akibatnya, pertumbuhannya sangat lambat, karena kurang mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan pihak-pihak yang berkompeten, seperti Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Industri, BAPENAS, DPR dan Menteri yang terkait lainnya.
Aplikasi ekonomi Islam bukanlah untuk kepentingan ummat Islam saja. Penilaian sektarianisme bagi penerapan ekonomi Islam seperti itu sangat keliru, sebab ekonomi Islam yang konsen pada penegakan prinsip keadilan  dan membawa rahmat untuk semua orang tidak diperuntukkan bagi ummat Islam saja, dan karena itu ekonomi Islam bersifat inklusif.[4]

Gontor, Kampus Siman 14 September 2013

Referensi
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, Februari 2004
Umer Chapra, Masa depan ekonomi Islam, Gema Insani Press Jakarta 2001
Mannan,Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dana Bakti Wakaf
Heri Soedarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonisia, UII jogja



[1] Irwan Malik Marpaung,Perbandingan sistem ekonomi kapitalis,Sosialis,dan Islam,Jurnal Ijtihad edisi volume 7 nomor 2,Muharram-Rabiutsani 1434
[2] Ali Sakti,Ekonomi Islam,Jawaban atas kekacauan ekonomi modern,(tanpa kota:paradigma&Aqsa publishing,2007),h.26.
[3] Muhammad,Ekonomi Mikro Dalam perspektif islam ,yogyakarta,februari 2004
[4] Ibid

Falah Sebagai Konsep Dasar Ekonomi Islam

            Kebahagiaan merupakan tujuan utama dalam kehidupan manusia. manusia akan memperoleh kebahagiaan jika kalau seluruh kebutuhannya terpenuhi , baik dalam aspek metrial maupun spiritual, dalam janga pendek maupun jangka panjang. Terpenuhinya segala yang dibutuhkan yang bersifat sandang, pangan, rumah, dan kekayaan lainnya, dewasa ini lebih banyak mendapatkan perrhatian dalam ilmu ekonomi. Terpenuhinya meteri inilah yang disebut dengan kesejahteraan.
            Pada dasarnya setiap manusia selalu menginnginkan kehidupannya di dunia ini dalam keadaan bahagia, baik secara material maupun spiritual, individual maupun soal sosial. Namun dalam praktiknya kebahagiaan multidimensi ini sangat sulit diraih kerena keterbatasan kemampuan pada manusisa dalam memahami dan menerjemahkan keinginannya secara komprehensif, keterbatasan dalam menyeimbangkan antaraspek kehidupan maupun keterbatasan sumber daya yang diharapkan akan membawa manusia kepada tujuan hidupnya. Oleh karena itu, ada tiga hala pokok yang diperlukan untuk memahami bagaimana tujuan hidup.
Seperti yang kita ketahui bahawasannya para pengikut kapitalis beranggapan bahwasannya segala keuntungan atau kepuasan adalah tujuan utama dalam hidup dan beranggapan bahwasanya kepuasan manusia tidak mempunyai keterbatasan dalam segala hal,sumber daya alam contohnya mereka beranggapan bahwasannya SDAitu terbatas akan tetapi kebutuhan manusia itu terbatas, dan setiap harus berusaha untuk mendapatkannya tanpa memikirkan dari sisi sosial, budaya, dan kesejahteraan. Ini adalah salah satu kerusakan paradigma yang parah dan harus diluruskan, maka dari itu Allah menurunkan kepada kita Rasulullah  datang di dunia ini sebagai pembawa kita kepada kebenaran dan menjauhi kebatilan dengan mukjizatnya yaitu Al-Quran untuk sebagai petunjuk dalam kehidupan.
Islam datang di dunia ini sebagai petunjuk dengan membawa nilai-nilai spiritual yang datang dari Allah, salah satunya dalam konsep falah yang sebagai dasar tujuan hidup kita di dunia ini. Falah berasal dari bahasa arab dari arti kata Afalaha-yufilhu yang berarti kesuksesan, kemuliaan, atau kemenangan, yaitu kemenangan dan kemuliaan dalam hidup. Istilah falah menurut Islam diambil dari kata-kata Al-Quran, yang sering dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang, dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek meterial saja namun lebih ditekankan pada aspek spiritual. Dalam konteks dulu, falah merupakan konsep yang multi dimensi. Ia memiliki implikasi pada aspek perilaku individual/mikro maupun perilaku kolektif/makro.
Falah merupakan tujuan hidup pada setiap manusia yang dibawa oleh islam yang mencangkup aspek yang lengkap dan menyeluruh bagi kehidupan manusia. aspek ini secara pokok meliputi spiritual dan moralitas, ekonomi, sosial dan budaya, serta politik. Misalnya, untuk memperoleh kelangsungan hidup, maka dalam aspek mikro manusia membutuhkan:
a.       Pemenuhan kebutuhan biologis seperti kesehatan fisik atau bebas dari penyakit
b.      Faktor ekonimis, misalnya memiliki sarana kehidupan
c.       Faktor sosial, adanya persaudaraan dan hubungan antarpersonal yang harmonis. Dalam aspek makro kesejahteraan menutun adanya keseimbangan ekologi, likungan yang higenis, menejemen lingkungan hidup dan lain-lain.
Akhirat merupakan kehidupan yang diyakini nyata-nyata ada dan akan terjadi, memiliki nilai kuantitas dan kualitas yang lebih berharga dibandingkan dunia. Kehidupan dunia akan berakhir dengan kematian atau kemusnahan, sedangkan kehidupan akhiarat bersifat abadi atau kekal. Kehidupan dunia merupakan ladang bagi pencapaian tujuan akhirat dan kebahagiaan dunia, meskipun demikian, falah mengandung makna kondisi maksismum dalam kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dalam praktik kehidupan di dunai, kehidupan akhirat tidak dapat diobservasi, namun perilaku manusia di dunia akan dipertanggung jawabkan atau akan berpengaruh kepada kehidupannya di akhirat kelak nanti. Dalam praktiknya, upaya manusia untuk mewujudakan kebahagiaannya di dunia ini sering kali dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi orang lain, kelestarian lingkungan hidup manusia jangka panjang. Ketidak kemampuan manusia dalam menyeimbangkan peenuh berbagai bisa berakibat pada gagalnya tercapanya kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Ekonmi Islam mempelajari bagaimana manusia memenuhi kebutuhan materinya di dunia ini sehingga tercapainya kesejahteraan yang akan membawa kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat (falah).
Sebagaimana yang telah saya paparkan tadi bahwasannya setiap manusia ingin mendapat kebahagiaan yang kekal atau disepanajang hidupnya, tidak hanya di dunia ini namun di akhir kelak nanti. Pemenuhan kebutuhan materi di dunia akan diuapayakan agar bersinergi dengan pencapaian kebahagiaan secara menyeluruh. Setiap manusia berkeinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang mampu mengantarnya kepada kebahagiaan yang abadi.
Kebahagian pada manusia tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, hal ini merupakan salah satu bukti bahwasannya sebagian manusia dewasa ini mengalami kegagalan dalam merumuskan definisi kesejahteraan yang mendatangkan kebahagiaan, sekaligus kegagalan karena dalam mamahami kesejahteraan. Bagaimana islam mendefinisikan kesejahateraan?
Pendefinisian Islam tentang kesejahteraan di dasarkan pendangan yang komperhensif tentang kehidupan ini. Kesejahteraan menurut ajaran Islam mencngkup dua pengertian, yaitu:
a.       Kesejahteraan holistik dan seimbang yaitu kecukupan materi yang  didukung oleh terrpenuhinya kebutuhan spiritual serta mancakup individu dan sosial. Sosok manusia terdiri atas dua unsur fisik dan jiw, karenanya kebahagiaan haruslah menyeluruh dan seimbang di antara keduanya. Demikian pula manusia memiliki dimensi individual sekaligus sosial. Manusia akan merasa bahagia apabila terdapat keseimbangan di antara dirinya sendiri dengan lingkungannya.
b.      Kesejahteraan di dunia dan di akhirat, sebab manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja, tetapi juga di alam setelah kematian/ kemusnahan dunia (akhirat). Kecukupan materi di dunia ditujuakan dalam rangka untuk memperoleh kecukupan akhirat. Jika kondisi idela ini tidak dapat dicapai maka kesejahteraan di akhirat lebih diutamakan, sebab ia merupakan suatu kehidupan yang abadi dan lebih bernilai (valuable) dibandingkan kehidupan dunia.

Bagaiamana manusia mampu mencapai falah sangat tergantung pada perilaku dan keadaan manusia di dunia. Secara umum, manusia menghadapi kesuliatan dalam mengharmonisasikan berbagai tujuan dalam hidup karena keterbatsan yang ada pada dirinya. Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa untuk mencapai falah, manusia harus menyadari hakikat keberadaannya di dunia, mengapa kita tercipta di dunia ini. Tidak lain.manusia tercipta kecuali kehendak yang menciptakan, ia mengikuti petunjuk pencipta. Perilaku manusia semacam inilah yang dalam agam Islam disebut ibadah, yaitu setiap keyakinan,sikap, ucapan, maupun, tindakan yang mengikuti petunjuk Allah, baik terkait dengan hubungan sesama manusia (muamalah) ataupun manusia dengan penciptanya (ibadah mahdhah). Di sinilah agama islam memiliki ajaran yang lengkap, menuntun setiap aspek kehidupan manusia agar manusia berhasil dalam mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian, ibadah merupakan alat atau jalan yang digunakan untuk mencapai falah.

Daftar Pustaka
1.      Syed Ameer Ali, 1949 A Short History of Sarancens, Londons : Mcamilan And Co
2.      A. Rahman Ritonga, et al. 1996 eksiklopedia Hukum Islam , Jakarta
3.      Ekonomi Islam (P3EI) UII kerja dengan BI Rajawali Press
4.      Rahman, Aflazur. 1995 Doktrin Ekonomi Islam Yogyakarta PT Dana Bhakti Wakaf


Pengaruh Sertifikasi Guru Terhadap Mutu Pendidikan

Oleh : Ahmad Jamroni / Pendidikan Agama Islam VI
Pendidikan merupakan aspek terpenting untuk dimiliki oleh setiap umat manusia.Karena dengan pendidikan dapat menciptakan perubahan sikap yang baik pada diri seseorang. Pendidikan mempunyai dua proses utama yaitu mengajar dan diajar. Mengajar ditingkat pendidikan formal biasanya dilakukan oleh seorang guru. Guru dalam proses belajar mengajar mempunyai tiga peranan yaitu sebagai pengajar, pembimbing dan administrator kelas.

Jumat, 30 Maret 2012

Studi Prinsip Dasar Metode Pengajaran Bahasa Arab


oleh: Muhammad Nasrullah (PBA 5-2012)

A. pendahuluan
Belajar Bahasa Arab (asing) berbeda dengan belajar bahasa ibu, oleh karena itu prinsip dasar pengajarannya harus berbeda, baik menyangkut metode (model pengajaran), materi maupun proses pelaksanaan pengajarannya. Bidang keterampilan pada penguasaan Bahasa Arab meliputi kemampuan menyimak (listening competence/mahaarah al – Istima’), kemampuan berbicara (speaking competence/mahaarah al-takallum), kemampuan membaca (reading competence/mahaarah al-qira’ah), dan kemampuan menulis (writing competence/mahaarah al – Kitaabah).
Setiap anak manusia pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk menguasai setiap bahasa, walaupun dalam kadar dan dorongan yang berbeda. Adapun diantara perbedaan-perbedaan tersebut adalah tujuan-tujuan pengajaran yang ingin dicapai, kemampuan dasar yang dimiliki, motivasi yang ada di dalam diri dan minat serta ketekunannya.

B.Prinsip-prinsip pengajaran Bahasa Arab (asing)
Ada lima prinsip dasar dalam pengajaran bahasa Arab asing, yaitu prinsip prioritas dalam proses penyajian, prinsip koreksitas dan umpan balik, prinsip bertahap, prinsip penghayatan, serta korelasi dan isi;

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM


oleh: Addinsyah Ramadzan (PAI 5-2012)

Secara alamiah, manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi setahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat.

Pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian belrlangsung dia atas hukum alam yang ditetapkan oleh Allah SWT sebagai “sunnatullah”.
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniah dan jasmaniah, juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan/pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan/pertumbuhannya.
Tidak ada satupun makhluk ciptaan Allah diatas bumi ini yang dapat mencapai kesempurnaan/kematangan hidup tanpa berlangsung melalui suatu proses.

Madrasah Bashrah dan Kuffah, Sejarah dan kontribusinya dalam Ilmu Nahwu



     Berbicara tentang linguistik Arab, tak bisa dipisahkan dari “ilmu nahwu” (yang sekarang masuk ke kajian sintaksis). Karena dalam ilmu tata bahasa Arab, ilmu inilah yang pertama kali mencapai kematangan dari segi epistemologi. Menurut Syauqi Dhaif,  dalam sejarah ilmu nahwu, terdapat beberapa madzhab (madrasah) nahwu, yaitu madzhab Bashrah, Kufah, Baghdad, Andalusia dan Mesir. Namun di sini, hanya akan disajikan dua madzhab saja, yaitu madzhab Bashrah, dan Kufah,  mengingat pengaruh dan kontribusi kedua madzhab tersebut dalam bidang nahwu begitu besar.

A. Madzhab Bashrah
 Madzhab Basrah atau madrasah Bashrah adalah madzhab yang dirintis oleh ‘Anbasah, salah seorang yang disebut-sebut oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sebagai murid dan sahabat Abu al-Aswad yang paling cerdas.  Kemudian setelah itu dilanjutkan oleh Maimun al-Aqran. Namun Abu ‘Ubaidah mengatakan bahwa Maimun adalah pelanjut setelah Abu al-Aswad. Kemudian setelahnya, barulah ‘Anbasah al-Fil, yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Ishaq al-Khadhramiy.

Selanjutnya adalah Nashr bin ‘Ashim al-Laitsiy dan Yahya bin Ya’mur. Nashr bin ‘Ashim al-Litsiy adalah salah seorang ahli qiraat dan balaghah. Di antara muridnya adalah Abu ‘Amr. Al-Zuhriy mengomentari Nashr:”Ia adalah orang yang sungguh sangat mahir dalam bahsa Arab.” Bahkan ada yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang pertama meletakan bahasa Arab. Sedang Yahya bin Ya’mur adalah seorang yang sangat dikenal ilmu dan kefasihan bahsanya. Ia sangat dikenal dengan keilmuannya yang bersih dan sikap amanahnya. Ia telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Ibnu Abbas dan yang lainnya.

 Perlu diketahui bahwa kedua ulama nahwu ini, telah melakukan lompatan yang besar dalam hal penulisan bahasa Arab, setelah Abu al-Aswad al-Dualiy. Mereka berdua membuat kreasi titik huruf-huruf baik satu atau dobel (dua), untuk membedakan huruf-huruf yang mirip, seperti ba, ya, dan nun. Mereka melakukan hal tersebut atas perintah al-Hajjaj bin Khathib, pada mushhaf utsman.

 Yahya bin Ya’mur memiliki kelebihan dalam hal karangan. Diriwayatkan ketika Abu al-Aswad, Atha putera Abu al-Aswad dan dia melakukan perluasan kajian nahwu, seperti membuat bab-babnya dan menggali kias-kiasnya. Maka ketika bab-bab dan juz-juz telah cukup mumpuni, sebagian periwayat menisbatkan pada mereka berdua, bahwa yang pertama meletakan nahwu adalah mereka berdua.

 Namun Nashr sampai sekarang masih terkenal sebagai orang yang membedakan huruf-huruf yang saling mirip dengan titik yang sudah dikenal. Dialah yang merubah susunan abjad Arab sehingga seperti sekarang ini. Lalu ia menggantikan titik-titik yang digunakan Abu al-Aswad digantikan dengan titik yang kita kenal sekarang yang dulunya hanya dengan alif (untuk bunyi fathah), wawu (untuk bunyi dhamah) dan ya (untuk bunyi kasrah). Abu al-Aswad memberi titik pada kata (kalimat), hanya untuk membedakan tiap akhir kata (baca: mengi’rabi). Sedang Nashr memberi titik pada kata, tujuanya adalah untuk membedakan tiap huruf bagi orang ‘Ajam (non-Arab), yang mana ketika itu masih sering terbalik antara satu huruf dengan yang lainnya yang terdapat kemiripan.

 Dalam fase kedua, di antara ulama nahwu Bashrah terdapat nama Abu Amr bin al-‘Ala dan Abudullah bin Ishaq al-Hadhramiy. Abu Amr adalah ulam yang terkenal dan gemilang dalam kajian Al-Qur’an, bahasa dan nahwu. Ia adalah salah seorang ahli qiraat sab’ah. Abu Ubaidah mengomentari dirinya:”Ia merupakan orang yang paling pintar dalam qiraat, bahasa Arab, fase-fase (sejarah) orang-orang Arab, dan sya’ir. Ia memiliki buku banyak, hingga menumpuk sampai langit-langit rumahnya. Ia menjadi rujukan banyak orang pada masanya. Di antara muridnya adalah Isa bin Umar, Yunus bin Hubaib, dan Abu al-Khaththab al-Akhfasy.”
 Sedang Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhramiy adalah ulama nahwu yang sezaman dengan Abu Amr. Ia salah seorang ulama yang pernah menyalahkan Farazdaq dalam menggunakan bahasa dalam syi’ir gubahannya. Abu Amr lebih diunggulkan dalam bidang bahasa, sedang Abu Ishaq lebih diunggulkan  dalam bidang nahwu. Abu ishaq merupakan orang yang paling pintar dan cerdas di Bashrah. Ia adalah orang yang mengklasifikasikan pembahasan nahwu dan membuat kias. Dikatakan bahwa ia adalah ulama yang pertama membuat menta’lil nahwu.

 Ulama selanjutnya adalah Isa bin Umar al-Tsaqafiy, sahabat Khalid bin Walid. Ia berguru pada Abu Amr bin al-Ala dan Abdullah bin Ishaq al-Hadhramiy. Ia dianggap sebagai salah seorang yang ahli qiraat Bashrah. Ia juga menjadi imam dalam bidang bahasa Arab dan nahwu. Barangkali ia adalah orang yang pertama menyusun kitab yang lengkap dalam kedua bidang tersebut. Kedua kitabnya cukup terkenal, walau tidak ada berita yang sampai pada kita mengenai kedua kitab tersebut. Hanya saja Khalil bin Ahmad sebagai muridnya, pernah membaca dan merawatnya.

 Isa bin Umar merupakan guru dari ulama-ulama Bashrah yang terkenal seperti Khalil, Sibawaih dan Abu Zaid al-Anshari. Juga guru dari Abu Ja’far al-Ruasiy yang kelak menjadi perintis madzhab Kufah, yang mana murid-muridnya adalah al-Kisaiy dan al-Farra.

 Adapun Khalil bin Ahmad merupakan puncaknya dalam penggalian masalah-masalah nahwu dan mensahkan penggunaan kias dalam nahwu. Ia merupakan orang yang meletakan kaidah-kaidah arudh (wazan syi’ir Arab klasik). Ia mengarang sebuah kitab yang sangat terkenal kitab al-‘Ain yang membuat batasan-batasan bahasa Arab. Ia merupakan guru Sibawaih. Dalam kitab¬-nya yang terkenal, Sibawaih banyak meriwayatkan darinya. Setiap Sibawaih berkata سألته  atau قال  tanpa disebutkan subjeknya, maka maksudnya adalah Khalil.

 Abu Zaid adalah seorang yang sangat jujur dan terpercaya dalam periwayatan. Kendati ia dalam bidang nahwu lebih unggul daripada al-Ashma’iy dan Abu Ubaidah, namun ia pun banyak mengarang dalam bidang bahasa, nawadir (anekdot), dan al-gharib.

 Para ulama Bashrah memiliki tradisi kunjungan ke qabilah-qabilah Arab yang tinggal di pedalam-pedalaman. Mereka mengambil bahasa Arab langsung dari penutur aslinya. Mereka beranggapan bahwa bahasa Arab yang asli hanyalah ada di sana. Karena qabilah di pedalaman belum banyak berinteraksi/berhubungan dengan dunia luar, jadi bahasanya pun masih asli terjaga. Maka jika ingin mengetahui bahasa Arab yang baik dan benar, maka datanglah ke qabilah-qabilah di pedalaman. Begitulah barang kali anggapan ulama Bashrah mengenai keaslian bahasa Arab yang akan dijadikan rujukan.

 Di antara qabilah yang paling sering mereka kunjungi adalah Tamim dan Qais. Karena kedua qabilah itu belum bercampur dengan masyarakat di luar Arab (‘ajam). Dengan begitu bahasanya akan senantiasa terjaga. Di Bashrah terdapat pasar yang cukup terkenal, yaitu al-Mirbad. Qabilah-qabilah pedalaman Arab pun pada berdatangan mengunjunginya dengan tujuan berniaga. Pasar ini tak jauh beda seperti Ukazh dulu, yaitu selain tempat berdagang, juga tempat perlombaan sya’ir dan saling membanggakan antar qabilah. Penduduk qabilah-qabilah badwi selalu mendatanginya dengan tujuan untuk mengais rezeki dari sana. Kondisi ini sangat memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap kefashihan bahasa penduduk Bashrah dan keterjagaan bahasa mereka. Dengan begitu, interaksi kaum pedalaman Arab (Arab badwi) dengan ulama Bashrah tidak hanya terjadi di kampung-kampung Badwi, tetapi juga di pasar al-Mirbad.
 Berbeda dengan ulama Kufah, para ulama Basrah ahli di bidang manthiq (logika). Sehingga mereka dapat membuat teori-teori/kaidah-kaidah untuk mempermudah dalam mempelajari nahwu.

B. Madzhab Kufah
 Madzhab Kufah adalah madzhab nahwu yang dirintis oleh Abu Ja’far al-Ruasiy. Ia menuntut ilmu di Bashrah kepada ulama-ulama Bashrah. Ia belajar kepada Abu Amr bin al-Ala dan Isa bin Umar al-Tsaqafiy. Namun ia selama di sana tidak pernah mendekati/berkenalan dengan murid-murid keduan imam tersebut pun menegurnya. Ia tinggal di Bashrah dalam keadaan tidak terkenal. Ia merupakan ulama Kufah yang pertama menyusun kitab tentang (ketata)bahasa Arab-an,yaitu kitab al-Faishal. Kitab ini pernah diperlihatkan kepada para ahli nahwu Bashrah. Namun mereka tidak pernah meliriknya. Dan ia pun tidak pernah memperlihatkannya lagi, setelah mendengar komentar (miring) dari mereka. Ia menduga Khalil meminta kitab tersebut, lalu ia memperlihatkan kitab itu padanya. Setelah itu Khalil berkomentar: “Semua isi kitab Sibawaih, itulah yang diungkapkan oleh orang Kufah”. Maksud Khalil adalah al-Ruasiy ini. Sekelompok ulama Bashrah menganggap bahwa orang Kufah yang disebut-sebut al-Akhfash di akhir pembahasannya, yang kemudian menjadi rujukannya ialah al-Ruasiy. Dilihat dari karya-karyanya, seperti Kitab al-Tashghir, al-Afrad wa al-Jam’, al-Waqf wa al-Ibtida, dan Ma’aniy al-Qur’an, ia dinggap sebagai salah seorang ulama Kufah yang ahli qiraat.
 Sekembalinya ke  Kufah,  ia  menemui  pamannya Mu’adz bin Muslim al-Hira, seorang ulama yang dijadikan rujukan dalam bidang bahasa Arab. Ia kemudian memfokuskan pada kajian sharaf serta permasalahan-permasalahannya secara khusus. Selanjutnya berdatanganlah orang-orang Kufah yang belajar padanya/mencatat pemikirannya untuk dikoreksi olehnya. Sehingga konon katanya, mereka lebih unggul dari ulama Bashrah dalam bidang itu. Dari sana, sebagian ulama menganggap al-Ruasiy sebagai peletak pertama ilmu sharaf. Karena dari tangannyalah, muncul dua muridnya yang terkenal yaitu al-Kisaiy dan al-Farra.
 Namun Syauqiy Dhaif berpendapat bahwa perintis madzhab Kufah adalah al-Kisaiy dan muridnya al-Farra. Karena mereka berdualah yang telah merumuskan podasi ilmu nahwu. Sehingga ilmu nahwu yang berkembang di Kufah berbeda dengan yang Bashrah. Lebih lanjut, tegas Syauqiy, namanya tidak pernah disebut-sebut dalam kitab-kitab ulama nahwu setelahnya yang pernah sejaman dengannya. Dan Syauqiy mengutip Abu Hatim yang pernah menyatakan:”Di Kufah ada seorang ulama nahwu yang bernama Abu Ja’far al-Ruasiy. Ilmunya kurang, dan ia bukan apa-apa.”
 Al-Kisaiy adalah seorang ulama non-Arab (a’jamiy). Ia merupakan salah seorang ahli qiraat sab’ah dan imam ahli Kufah dalam bidang bahasa Arab. Ia belajar kepada Yunus, salah seorang ulama Bashra dan Khalil. Ia juga berkunjung ke pedalaman-pedalaman Najd, Hijaz dan Tihamah. Ia mencatat bahasa Arab dari orang badwi di sana. Ia menghabiskan 15 botol kecil tinta untuk mencatat apa yang ia tangkap, selain apa yang ia dengar. Sekembalinya ia ke Bashrah, ia mendapatkan Khalil telah meninggal. Di sana ia hanya mendapatkan Yunus. Maka terjadilah diskusi antara keduanya. Yunus akhirnya mengakui keilmuan al-Kisaiy dan menempatkannya sejajar dengan dirinya. Ia menggantikan posisi dirinya.
 Selanjutnya al-Kisaiy pindah ke Bagdad. Di sana ia tinggal di istana al-Rasyid sambil mengajar kedua putera mahkota, yaitu al-Amin dan al-Ma’mun. ia pula di sana mendapat kedudukan terhormat dan harta benda. Ia dipekerjakan  oleh al-Rasyid untuk membantu mengajari kedua putera mahkota. Pada waktu al-Rasyid pergi ke Ray, beliau ditemani oleh al-Kisaiy dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy. Maka ketika keduanya meninggal dunia, al-Rasyid berkata:”Aku menguburkan fiqih dan nahwu dalam satu hari.”
 Adapun al-Farra, ia telah belajar di Bashrah kepada Yunus bin Hubaib, lalu kepada al-Ruasiy. Dan setelah itu ia terus belajar kepada al-Kisaiy di Bagdad. Orang yang menyuruhnya berangkat ke Bagdad ialah gurunya sendiri al-Ruasiy.
 Sekarang, marilah kita dengarkan perkataan al-Farra ketika pertama kalinya menginjakan kaki di Bagdad.
 Al-Ruasiy pernah berkata kepadaku:”Al-Kisaiy datang ke Bagdad dalam usia lebih muda darimu.”  Kemudian aku datang ke sana dan menemui al-Kisaiy. Aku bertanya kepadanya tentang masalah-masalah yang dibahas al-Kisaiy. Ia menjawab dengan jawaban yang berbeda sama sekali dengan apa yang aku perleh dari al-Ruasiy. Aku melirik para ulama Kufah yang ketika itu ada bersamaku. Ia balik bertanya:”Mengapa engkau mengingkari apa yang aku katakan? Bukankah engkau ini ulama Kufah? Aku jawab:”Ya.” Lalu ia melanjutkan perkataannya:”Al-Ruasiy berkata begini…begitu…Semuanya tidak benar. Tapi aku mendengar orang-orang berkata begini-begini. Sehingga ia sampailah pada bahasan-bahasanku. Aku sangat tertarik uraiannya dan aku pun kemudian belajar padanya.
 Ada hal yang unik pada Farra ini, para ulama Bashrah dan Kufah ternyata sangat menjunjung tinggi bacaannya yang ia pelajari dari Hubaib al-Bashriy, yang menjadi guru Sibawaih, dengan sanjungan yang luar biasa. Ulama-ulama Kufah mengira ia banyak mengambil ilmu dari Hubaib, sedang ulama Bashrah menampik hal demikian. Di atas itu semua, ternyata al-Farra adalah orang yang sangat fanatik kepada Sibawaih dan kitabnya. Ia adalah salah seorang ulama yang telah mengarang kita ma’ani al-Qur’an yang belum pernah dikarang oleh ulama lain.
 Kufah masuk ke daerah Irak dan lebih memungkinkan terjadinya percampuran dengan kaum non-Arab (‘Ajam). Di mana bahasa kaum Badwinya tidak semurni badwi Bashrah. Kebanyakan dari mereka dalah orang-orang Yaman. Jarang sekali datang dari kabilah lain. Sedangkan Yaman, bahasa mereka tidak bisa dijadikan hujjah karena telah tercampuri bahasa Persia dan Ahbasy. Kemudian antara Kufah dan jazirah Arab, terbentang gurun pasir yang sangat luas kondisi itu tidak memungkinkan para ulamanya mereka melakukan rihlah ilmiah ke sana, sebagaimana ulama-ulama Bashrah. Sedang al-Kisaiy tidak pernah melakukan perjalanan itu, kecuali atas hasil berguru pada Khalil. Oleh Khalil ia diberi petunjuk untuk melakukan perjalanan.
 Abu Amr bin Abi al-Ala, seorang ulama Bashrah periode pertama telah melakukan perjalanan selama empat puluh tahun. Sedangkan al-Kisaiy hanya tinggal empat puluh hari di perkampungan orang badwi tersebut. Dengan demikian, para ulama Basrah dakam periwayatan bahasa (sima) dari orang Arab badwi, lebih kuat sanad-sanadnya walau tidak banyak. Sedang ulama Kufah sangatlah lemah, kendati lebih banyak meriwayatkan. Begitulah Khatib al-bagdadiy  memberikan gambaran perbedaan antara kedua madzhab tersebut.
 Para ulama Kufah sangat berbeda dengan ulama basrah. Mereka kurang begitu ahli dalam mengunakan manthiq. Sehingga mereka banyak membuat kesalahan dalam membuat kaidah-kaidah nahwu. Mereka sering menjadikan kalimat-kalimat yang syadz dan jarang sebagai kaidah. Hal ini akan menyulitkan pada pembelajaran nahwu, karena terlalu banyak kaidah yang harus dipakai.
 Ada sebagian peneliti menyimpulkan bahwa perbeadaan antara madzhab Basrah dan Kufah adalah, jika basrah lebih cenderung ke kias (manthiq) sedang madzhab Kufah lebih cenderung ke sima (periwayatan). Memang hal itu bisa dibenarkan, namun itu terlalu menyederhanakan masalah. Dan yang penulis pegang adalah seperti yang telah diuraikan di atas.